LABIRIN
BUNTU
BAU amis dari
para pedagang ikan pagi ini melengkapi rutinitas
pasar pagi.
Senggol sana. Senggol sini. Berteriak setengah
mati. Diakhiri
dengan sambaran tawaran harga tinggi. Ramai
dan hiruk
pikuk. Ini terjadi hampir setiap hari. Aku dan jiwaku
yang dipaksa
untuk tinggal di sini.
“Hei, Babah!”
terdengar satu hentakan dari pojok kios sana.
Dugaanku
benar. Semua riuh. Seperti yang aku sebutkan tadi.
“Kau ini sudah
diberi hati. Malah meminta jantung! Tidak
tahu adab
benar!”
Tak lama
kemudian, terdengar jawaban.
“Haiyaaa, santai sedikit lah, Sal. Ini
permintaan terakhir ku.
Tidak terlalu
banyak! Kau cukup menerimanya saja.”
Lalu, sayup-sayup
terdengar. Rupanya, penghuni tetap
pasar ini
senang datangnya hiburan baru. Yang menarik dan
pantas untuk
ditengok. Apalagi, ini menyangkut Aa Sal. Segala
nya berada di
tangan kotornya.
“Bah, apa yang
Babah katakan bukan perkara sepele.
Bahkan, lebih
berat dari seluruh makanan milik Babah!” jawab
Aa Sal.
Suasana semakin tegang. Teriakan mereka berdualah
dari tadi
mendominasi suasana pasar. Seram dan menakutkan.
Kita sudah
mengetahui seluk beluk kedua jagoan ini.
Me milih tetap
dalam diam. Salah langkah barang satu jengkal
pun, bisa habis kami dibuatnya.
“Pest, hei! Abaikan mereka! Pesst, lanjutkan saja pekerjaanmu!
Atau, kau mau
kupotong gaji untuk bulan ini?” suara dari
balik kepalaku
menyeruak. Itu adalah suara Wak Ton. Juragan
toko tempat
aku bekerja sekarang.
“Iya, Wak.
Maaf sekali,” jawabku singkat. “Gaji saya jangan
dipotong bulan
ini! soalnya ....”
Wak Ton
menyuruhku diam. Dengan isyarat jemari telunjuknya.
Juga tetap
menjaga agar aku tidak beralih pikiran.
Satu pelanggan
masuk. Pelanggan setia. Jalannya bagai
putri
istana yang
terkurung seribu tahun dalam menara. Benar-benar
seburuk itu.
Jika tidak mengingat gajiku, tawa kencang bisa keluar
dari mulutku.
“Waaak!”
serunya.
Aku tidak bisa
menggambarkan secara tepat suaranya
memanggil Wak
Ton. Suara yang dibuat-buat. Dia betul memanggil
Wak. Tapi,
dengan irama yang sangat tidak diinginkan
semua orang.
“Kenapa,
sayang? Kalah lagi, semalam?” Wak Ton menjawab
sapaannya.
Inilah, kepribadian juraganku akan ber ubah
dengan cepat.
“Huaah,
iyaaaa! Aku lelah banget, Wak!” sambungnya.
“La la la la,
kalah lagi. Kalah lagi! Begitulah mereka mengejekku,
Wak. Cuih!
Padahal, aku baru kalah dua kali!”
Wak Ton
terlihat menyembunyikan kekecewaannya.
“Sudahlah, itu
baru dua kali. Hanya dua kali. Masih banyak
jalan yang
bisa kau tempuh. Nanti malam, mau coba lagi?”
Aduh, serius
kawan. Aku ingin muntah mendengarnya.
Pertama, dua
kali kalah. Dua kali? Iya, aku tidak salah dengar
pastinya. Dua
kali adalah angka yang sangat kecil untuk si
putri muram.
Bodoh. Berkali-kali kalah dalam perjudian. Lalu,
tawaran Wak
Ton untuk memberikan sejumlah uang secara
cuma-cuma
untuk si Putri? Tuhan, aku tidak tahu dunia apa
se karang.
“Eum, besok
saja deh! Aku mau istirahaaat...,” jawabnya.
“Ngomong-ngomong,
di depan itu ada ramai-ramai apa sih,
Wak? Berisik
banget. Aku mau ke sana saja. Lalu, suruh mereka
tutup mulut!
Dasar bedebah.”
Wak Ton dan
aku sontak saja menahan Si Putri. Bahaya,
siaga satu.
Sekali hal tersebut terjadi, sudah bisa dipastikan. Wak
Ton yang akan
menanggung semua kerugian. Intinya, makin
runyam
urusannya jika dia itu melibatkan diri.
“Uh, itu
sayang.... Biasalah, tawar-menawar pedagang
kampung.
Sampai ribut segala. Nanti pasti Wak suruh diam.”
Jurus sakti
juraganku itupun melesat cepat bagai panah
arjuna.
“Nah,
sekarang, kamu istirahat di dalam. Di luar sini tidak
baik. Bau amis
ikan bisa memicu pusing mabukmu itu.”
Si Putri mau
tak mau menuruti perintah Wak Ton. Beristirahat
adalah opsi
terbaik sejauh ini. Lelah dan marah akan
kejadian
semalam. Aku melanjutkan pekerjaanku. Menata gula,
minyak goreng,
dan lain-lain. Lalu, mengambil persediaan di
gudang,
mendata, menata kembali. Begitu seterusnya hingga
istirahat
siang berlabuh.
“Hei, kau nggak makan?” sapa
seseorang di belakangku.
Pupil mataku
menatapnya. Teman, tapi beda divisi denganku.
Harusnya ia
sudah mengerti. Setiap istirahat siang aku tak
pernah
istirahat. Aku mempunyai tanggung jawab yang harus
dibereskan.
“Sepertinya
nanti, aku akan menyusul kalau bisa. Tapi, aku
tidak
berjanji, ya.” balasku.
Sejak awal,
aku memang tidak bisa datang. Hanya untuk
sekadar makan
siang. Kejam benar hidup itu. Membuat semuanya
menjadi berat.
“Oh, begitu.
Ya sudah. Aku duluan, ya!” jawaban meluncur
dengan halus.
Memaklumi apa yang terjadi denganku. Setelahkepergian temanku itu, kuputuskan
untuk kembali menata
barang yang
harus dikerjakan.
***
Notasi pukul
enam sore menandakan berakhirnya kerja. Aku
cukup merasa
bangga. Bagusnya, hari ini adalah hari gajian.
Hal paling
baik setelah seharian berkutat dengan hal berbagai
barang.
“Tidak ada
gaji dulu. Aku baru bisa memberi dua bulan
ke depan.”
Sungguh, ini
di luar dugaan. Wak Ton tidak pernah menunda
pemberian
gaji. Aku memutuskan untuk angkat bicara.
“Mohon maaf,
Wak Ton. Kiranya, apa yang mendasari
penundaan ini?
Saya dan rekan-rekan sudah bekerja sampai
tidak
kenal....,” ucapanku terpotong.
“Kalah! Kalah
setiap malamnya! Kau tahu, ini bukan
ma salah
sereceh! Aku juga sudah lelah membiayai jalang itu.
Keluyuran
setiap malam. Judi, kalah.”
“Wak Ton, saya
tidak bermaksud lancang. Tetapi, seharusnya
kewajiban Wak
Ton hanyalah memberi gaji kami.
Tak kurang tak
lebih. Wanita tersebut bukanlah tanggung jawab
Wak Ton.”
Lagi-lagi, Wak
Ton memotong ujaran kami.
“Sudahlah!
Bodoh kalian itu! Tidak tahu apa-apa soal dia!
Diam saja atau
gaji kalian tidak akan cair hingga akhir tahun!”
“Waaak!”
Sebuah suara
terdengar dari balik dinding. Ia belum menampakkan
wajahnya.
Tapi, kami semua sudah bisa memastikan.
Suara orang
marah. Sangat marah.
“Iya, sayang?”
Wak Ton memainkan perannya kem bali.
Menjijikkan. “Kau
tidur kembali dulu, Wak ada urusan disini.” “Aku sudah tidak mabuk. Tidak
mengantuk! Lihat, segar
bugar badanku
ini. Kalau aku bertanding dengan para preman
tadi pagi pun
bisa-bisa saja!” ucapnya riang. “Nah, Wak. Kenapa
tadi Wak
berteriak-teriak? Aku juga mendengar soal gaji.
Apa yang
sedang kalian bicarakan?”
“Gaji? Apa kau
tidak salah dengar, sayang? Aku membicarakan
tentang padi!
Padi milik Pak Is. Yang harus secepatnya
dikirim ke
sini. Persediaan beras di sini sudah mulai menipis.”
Aku berani
bertaruh. Rekan-rekanku pasti sedang kebingungan.
Kami tidak
pernah menerima padi dari Pak Is. Kami
tidak pernah
mengupas padi hingga menjadi beras. Kami tidak
pernah
melakukan itu semua. Tugas kami hanyalah mem bagi
beras-beras
tersebut dalam kelompok yang berbeda. Anomali
ini disadari
oleh kami semua, tak terkecuali. Tapi, bagi Tuan
Putri, itu
bukanlah sebuah masalah yang besar.
“Oh, padi. Aku
salah dengar, ternyata. Ya sudah,” Tuan
Putri
menggaruk kepalanya yang kukira tidak gatal. “Dan
omong-omong
soal gaji, aku jadi ingin minta uang, Wak. Sedikit
saja, lima
ratus!”
Kami semua
tertegun. Wak Ton pun begitu. Dari raut
muka nya,
tersirat sebuah permasalahan. Ia sedang krisis keuangan.
Penyebab
terbesarnya adalah wanita yang sedang berdiri
di depannya.
Tapi, yang terjadi kemudian adalah sebuah
keajaiban.
Bukan, terlalu bagus kalau kubilang keajaiban. Ini
adalah
musibah.
“Lima ratus?
Apa tidak kurang?” Pertanyaan Wak Ton
membuat kami
lebih terkejut daripada kalimat Tuan Putri sebelumnya.
Tak diduga tak
disangka, Wak Ton malah me nawarkan
nominal yang
lebih tinggi jumlahnya.
“Sebenernya,
kurang sih, Wak. Tapi segitu dulu saja, deh.
Besok malam
aku minta lagi, kok!”
Kami hanya
bisa menelan ludah saat serah terima uang
dilakukan. Ini
semua di luar dugaan. Uang itu, per lembarnya, adalah hak kami semua. Garis
bawahi kalau perlu. Lima ratus
itu uang yang
berlimpah jika digunakan untuk gaji kami.
Sungguh.
Bukannya malah jatuh kepada Tuan Putri. Yang
justru tidak
menghasilkan apa-apa bagi Wak Ton.
“Bersenang-senanglah,
selagi kau bisa, sayang.”
Sepatah tadi
cukup menjadi alasan kami untuk memberikan
protes tinggi.
Bagaimana bisa. Ini adalah ironi. Wak Ton
terlalu sayang
pada si jalang itu. Rela membiarkan pengabdian
dan jasa kami
menjadi tidak terlihat olehnya.
“Itu adalah
uang terakhirku. Kalian tahu? Jangan memberi
aku sebuah
pertanyaan, atau gaji kalian tidak bisa benarbenar
kuberikan!”
Kami
hanya bisa diam.
Jalanan sepi.
Bukanlah hal yang baik untuk dilalui gadis
seorang diri.
Bahaya. Orang jahat bisa mencelakaimu kapan
saja. Seperti
itulah nasihat mereka. Bahaya, awas. Kamu perempuan.
Harus
berhati-hati. Seperti yang sudah-sudah, masuk
telinga kanan,
keluar telinga kiri. Berputar-putar, bagai piringan
hitam zaman dahulu.
Memberikan lagu-lagu ke nis cayaan
pada sesuatu.
Tapi, aku lebih memilih untuk mengabaikannya.
Ada yang lebih
kutakuti daripada para penjahar malam.
Ada sesuatu
yang menyeramkan, melebihi makhluk-makhluk
digdaya di
bawah tanah. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu
semua.
Pohon-pohon
yang berdiri seakan mengetahui apa yang
terjadi malam
ini. Kekecewaan meliputi hati. Semuanya bercampur
menjadi satu.
Tapi, aku lebih memilih untuk memendamnya.
Biarkan saja. Aku
akan diam. Seolah tidak terjadi apaapa.
Aku akan
berdiri tegar. Aku akan bersabar.
“Kak, kenapa
Kakak melamun?” Kepalaku menoleh dengan cepat. Mendapati seorang jago
an kecil yang
sedang berdiri anggun. Matanya sayu. Persis
meng gambarkan
waktu ia lahir dulu.
“Enggak kok.
Aku memikirkan ingin masak apa untuk
besok. Nah,
kamu ingin menu apa?”
Hening.
“Kak, minggu
depan, pembayaran utang harus lunas.
Aa Sal sudah
datang tadi siang.Tadi, aku ngumpet di rumah
Hana.”
Satu kabar
buruk lagi. Aku tidak tahu harus memberi
tanggapan apa
atas pernyataan adikku tadi.
“Kak ...,”
panggilnya. “Wak Ton sudah memberi gaji kan?
Seharusnya,
hari ini tehitung sejak bulan kemarin. Jadi, kita bisa
melunasi utang
Aa Sal.”
Adikku memang
tidak pernah sekolah. Tidak pernah kenal
berhitung atau
membaca. Tapi, siapa sangka, jauh dari itu semua.
Adikku ini
memiliki otak setara dengan Ibnu Sina pada
masanya. Ia
bisa menghitung tanpa pernah kuajari. Bisa menulis
puisi bagus
tanpa pernah kuberi tahu. Apalagi, sekadar
untuk
menghitung jatuh tempo, ia adalah yang paling jago.
“Hari ini
memang seharusnya hari gajian,” aku membuka
kalimat. “Tapi,
coba dengar. Ada beberapa hal yang belum terselesaikan.
Wak Ton belum
menggajiku. Urusan Aa Sal bisa belakangan.
Kamu mengerti?”
Itu sudah
cukup jelas. Adikku mengerti semuanya. Bahkan,
setiap kata
tersirat yang tidak keluar dari mulutku. Ku bilang
tadi. Tapi, ia
memilih untuk percaya. Mempercayai dusta yang
ada.
***
Malam ini aku
menjadi gelisah. Lebih gundah dari siapa
pun yang sedang
mengalami nikmatnya masa asmara. Akutak sedang mengada-ada. Perasaan ini rumit.
Sulit. Seolah seperti
ujian tak
berkesudahan. Jangankan jalan keluar, untuk
melewati jalan
saja tidak bisa. Aku bingung, lantas mengacakacak
rambut
kusutku.
Pandanganku teralih
padanya. Kuintip mata sayunya
yang
tersembunyi dalam remang-remang kamarnya. Ia begitu
dingin, jauh,
dan susah kurengkuh. Begitulah adikku. Aku tak
pernah
betul-betul mengenalnya. Kami sudah seperti masa yang
jauh di
pelupuk mata. Kami berbeda. Mungkin, malam ini akan
menjadi
terakhir kali aku bersua dengannya.
“Dik,” bisikku
lembut. “Jaga dirimu baik-baik!”
Bersamaan
dengan gesekan ranting di atas rumah, aku
menutup mata.
Berusaha mencari angin segar sebelum semuanya
dimulai.
Baiklah. Hitungan ketiga, aku lebih dari siap.
Melompat dan
mengendap. Tinggal sedikit lagi, dan aku bisa
menjadi apa
yang kuimpikan semalam. Aku bisa menjadi apa
yang dikatakan
oleh Wak Ton tadi siang. Bersenang-senang.
“Selamat malam, Tuan Putri. Apa kau sibuk malam ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar