Selasa, 31 Oktober 2023

Cerpen

 

LABIRIN BUNTU

 

BAU amis dari para pedagang ikan pagi ini melengkapi rutinitas

pasar pagi. Senggol sana. Senggol sini. Berteriak setengah

mati. Diakhiri dengan sambaran tawaran harga tinggi. Ramai

dan hiruk pikuk. Ini terjadi hampir setiap hari. Aku dan jiwaku

yang dipaksa untuk tinggal di sini.

“Hei, Babah!” terdengar satu hentakan dari pojok kios sana.

Dugaanku benar. Semua riuh. Seperti yang aku sebutkan tadi.

“Kau ini sudah diberi hati. Malah meminta jantung! Tidak

tahu adab benar!”

Tak lama kemudian, terdengar jawaban.

Haiyaaa, santai sedikit lah, Sal. Ini permintaan terakhir ku.

Tidak terlalu banyak! Kau cukup menerimanya saja.”

Lalu, sayup-sayup terdengar. Rupanya, penghuni tetap

pasar ini senang datangnya hiburan baru. Yang menarik dan

pantas untuk ditengok. Apalagi, ini menyangkut Aa Sal. Segala

nya berada di tangan kotornya.

“Bah, apa yang Babah katakan bukan perkara sepele.

Bahkan, lebih berat dari seluruh makanan milik Babah!” jawab

Aa Sal. Suasana semakin tegang. Teriakan mereka berdualah

dari tadi mendominasi suasana pasar. Seram dan menakutkan.

Kita sudah mengetahui seluk beluk kedua jagoan ini.

Me milih tetap dalam diam. Salah langkah barang satu jengkal

pun, bisa habis kami dibuatnya.

Pest, hei! Abaikan mereka! Pesst, lanjutkan saja pekerjaanmu!

Atau, kau mau kupotong gaji untuk bulan ini?” suara dari

balik kepalaku menyeruak. Itu adalah suara Wak Ton. Juragan

toko tempat aku bekerja sekarang.

“Iya, Wak. Maaf sekali,” jawabku singkat. “Gaji saya jangan

dipotong bulan ini! soalnya ....”

Wak Ton menyuruhku diam. Dengan isyarat jemari telunjuknya.

Juga tetap menjaga agar aku tidak beralih pikiran.

Satu pelanggan masuk. Pelanggan setia. Jalannya bagai putri

istana yang terkurung seribu tahun dalam menara. Benar-benar

seburuk itu. Jika tidak mengingat gajiku, tawa kencang bisa keluar

dari mulutku.

“Waaak!” serunya.

Aku tidak bisa menggambarkan secara tepat suaranya

memanggil Wak Ton. Suara yang dibuat-buat. Dia betul memanggil

Wak. Tapi, dengan irama yang sangat tidak diinginkan

semua orang.

“Kenapa, sayang? Kalah lagi, semalam?” Wak Ton menjawab

sapaannya. Inilah, kepribadian juraganku akan ber ubah

dengan cepat.

“Huaah, iyaaaa! Aku lelah banget, Wak!” sambungnya.

“La la la la, kalah lagi. Kalah lagi! Begitulah mereka mengejekku,

Wak. Cuih! Padahal, aku baru kalah dua kali!”

Wak Ton terlihat menyembunyikan kekecewaannya.

“Sudahlah, itu baru dua kali. Hanya dua kali. Masih banyak

jalan yang bisa kau tempuh. Nanti malam, mau coba lagi?”

Aduh, serius kawan. Aku ingin muntah mendengarnya.

Pertama, dua kali kalah. Dua kali? Iya, aku tidak salah dengar

pastinya. Dua kali adalah angka yang sangat kecil untuk si

putri muram. Bodoh. Berkali-kali kalah dalam perjudian. Lalu,

tawaran Wak Ton untuk memberikan sejumlah uang secara

cuma-cuma untuk si Putri? Tuhan, aku tidak tahu dunia apa

se karang.

“Eum, besok saja deh! Aku mau istirahaaat...,” jawabnya.

“Ngomong-ngomong, di depan itu ada ramai-ramai apa sih,

Wak? Berisik banget. Aku mau ke sana saja. Lalu, suruh mereka

tutup mulut! Dasar bedebah.”

Wak Ton dan aku sontak saja menahan Si Putri. Bahaya,

siaga satu. Sekali hal tersebut terjadi, sudah bisa dipastikan. Wak

Ton yang akan menanggung semua kerugian. Intinya, makin

runyam urusannya jika dia itu melibatkan diri.

“Uh, itu sayang.... Biasalah, tawar-menawar pedagang

kampung. Sampai ribut segala. Nanti pasti Wak suruh diam.”

Jurus sakti juraganku itupun melesat cepat bagai panah

arjuna.

“Nah, sekarang, kamu istirahat di dalam. Di luar sini tidak

baik. Bau amis ikan bisa memicu pusing mabukmu itu.”

Si Putri mau tak mau menuruti perintah Wak Ton. Beristirahat

adalah opsi terbaik sejauh ini. Lelah dan marah akan

kejadian semalam. Aku melanjutkan pekerjaanku. Menata gula,

minyak goreng, dan lain-lain. Lalu, mengambil persediaan di

gudang, mendata, menata kembali. Begitu seterusnya hingga

istirahat siang berlabuh.

“Hei, kau nggak makan?” sapa seseorang di belakangku.

Pupil mataku menatapnya. Teman, tapi beda divisi denganku.

Harusnya ia sudah mengerti. Setiap istirahat siang aku tak

pernah istirahat. Aku mempunyai tanggung jawab yang harus

dibereskan.

“Sepertinya nanti, aku akan menyusul kalau bisa. Tapi, aku

tidak berjanji, ya.” balasku.

Sejak awal, aku memang tidak bisa datang. Hanya untuk

sekadar makan siang. Kejam benar hidup itu. Membuat semuanya

menjadi berat.

“Oh, begitu. Ya sudah. Aku duluan, ya!” jawaban meluncur

dengan halus. Memaklumi apa yang terjadi denganku. Setelahkepergian temanku itu, kuputuskan untuk kembali menata

barang yang harus dikerjakan.

***

Notasi pukul enam sore menandakan berakhirnya kerja. Aku

cukup merasa bangga. Bagusnya, hari ini adalah hari gajian.

Hal paling baik setelah seharian berkutat dengan hal berbagai

barang.

“Tidak ada gaji dulu. Aku baru bisa memberi dua bulan

ke depan.”

Sungguh, ini di luar dugaan. Wak Ton tidak pernah menunda

pemberian gaji. Aku memutuskan untuk angkat bicara.

“Mohon maaf, Wak Ton. Kiranya, apa yang mendasari

penundaan ini? Saya dan rekan-rekan sudah bekerja sampai

tidak kenal....,” ucapanku terpotong.

“Kalah! Kalah setiap malamnya! Kau tahu, ini bukan

ma salah sereceh! Aku juga sudah lelah membiayai jalang itu.

Keluyuran setiap malam. Judi, kalah.”

“Wak Ton, saya tidak bermaksud lancang. Tetapi, seharusnya

kewajiban Wak Ton hanyalah memberi gaji kami.

Tak kurang tak lebih. Wanita tersebut bukanlah tanggung jawab

Wak Ton.”

Lagi-lagi, Wak Ton memotong ujaran kami.

“Sudahlah! Bodoh kalian itu! Tidak tahu apa-apa soal dia!

Diam saja atau gaji kalian tidak akan cair hingga akhir tahun!”

“Waaak!”

Sebuah suara terdengar dari balik dinding. Ia belum menampakkan

wajahnya. Tapi, kami semua sudah bisa memastikan.

Suara orang marah. Sangat marah.

“Iya, sayang?” Wak Ton memainkan perannya kem bali.

Menjijikkan. “Kau tidur kembali dulu, Wak ada urusan disini.” “Aku sudah tidak mabuk. Tidak mengantuk! Lihat, segar

bugar badanku ini. Kalau aku bertanding dengan para preman

tadi pagi pun bisa-bisa saja!” ucapnya riang. “Nah, Wak. Kenapa

tadi Wak berteriak-teriak? Aku juga mendengar soal gaji.

Apa yang sedang kalian bicarakan?”

“Gaji? Apa kau tidak salah dengar, sayang? Aku membicarakan

tentang padi! Padi milik Pak Is. Yang harus secepatnya

dikirim ke sini. Persediaan beras di sini sudah mulai menipis.”

Aku berani bertaruh. Rekan-rekanku pasti sedang kebingungan.

Kami tidak pernah menerima padi dari Pak Is. Kami

tidak pernah mengupas padi hingga menjadi beras. Kami tidak

pernah melakukan itu semua. Tugas kami hanyalah mem bagi

beras-beras tersebut dalam kelompok yang berbeda. Anomali

ini disadari oleh kami semua, tak terkecuali. Tapi, bagi Tuan

Putri, itu bukanlah sebuah masalah yang besar.

“Oh, padi. Aku salah dengar, ternyata. Ya sudah,” Tuan

Putri menggaruk kepalanya yang kukira tidak gatal. “Dan

omong-omong soal gaji, aku jadi ingin minta uang, Wak. Sedikit

saja, lima ratus!”

Kami semua tertegun. Wak Ton pun begitu. Dari raut

muka nya, tersirat sebuah permasalahan. Ia sedang krisis keuangan.

Penyebab terbesarnya adalah wanita yang sedang berdiri

di depannya. Tapi, yang terjadi kemudian adalah sebuah

keajaiban. Bukan, terlalu bagus kalau kubilang keajaiban. Ini

adalah musibah.

“Lima ratus? Apa tidak kurang?” Pertanyaan Wak Ton

membuat kami lebih terkejut daripada kalimat Tuan Putri sebelumnya.

Tak diduga tak disangka, Wak Ton malah me nawarkan

nominal yang lebih tinggi jumlahnya.

“Sebenernya, kurang sih, Wak. Tapi segitu dulu saja, deh.

Besok malam aku minta lagi, kok!”

Kami hanya bisa menelan ludah saat serah terima uang

dilakukan. Ini semua di luar dugaan. Uang itu, per lembarnya, adalah hak kami semua. Garis bawahi kalau perlu. Lima ratus

itu uang yang berlimpah jika digunakan untuk gaji kami.

Sungguh. Bukannya malah jatuh kepada Tuan Putri. Yang

justru tidak menghasilkan apa-apa bagi Wak Ton.

“Bersenang-senanglah, selagi kau bisa, sayang.”

Sepatah tadi cukup menjadi alasan kami untuk memberikan

protes tinggi. Bagaimana bisa. Ini adalah ironi. Wak Ton

terlalu sayang pada si jalang itu. Rela membiarkan pengabdian

dan jasa kami menjadi tidak terlihat olehnya.

“Itu adalah uang terakhirku. Kalian tahu? Jangan memberi

aku sebuah pertanyaan, atau gaji kalian tidak bisa benarbenar

kuberikan!”

Kami hanya bisa diam.

Jalanan sepi. Bukanlah hal yang baik untuk dilalui gadis

seorang diri. Bahaya. Orang jahat bisa mencelakaimu kapan

saja. Seperti itulah nasihat mereka. Bahaya, awas. Kamu perempuan.

Harus berhati-hati. Seperti yang sudah-sudah, masuk

telinga kanan, keluar telinga kiri. Berputar-putar, bagai piringan

hitam zaman dahulu. Memberikan lagu-lagu ke nis cayaan

pada sesuatu. Tapi, aku lebih memilih untuk mengabaikannya.

Ada yang lebih kutakuti daripada para penjahar malam.

Ada sesuatu yang menyeramkan, melebihi makhluk-makhluk

digdaya di bawah tanah. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu

semua.

Pohon-pohon yang berdiri seakan mengetahui apa yang

terjadi malam ini. Kekecewaan meliputi hati. Semuanya bercampur

menjadi satu. Tapi, aku lebih memilih untuk memendamnya.

Biarkan saja. Aku akan diam. Seolah tidak terjadi apaapa.

Aku akan berdiri tegar. Aku akan bersabar.

“Kak, kenapa Kakak melamun?” Kepalaku menoleh dengan cepat. Mendapati seorang jago

an kecil yang sedang berdiri anggun. Matanya sayu. Persis

meng gambarkan waktu ia lahir dulu.

“Enggak kok. Aku memikirkan ingin masak apa untuk

besok. Nah, kamu ingin menu apa?”

Hening.

“Kak, minggu depan, pembayaran utang harus lunas.

Aa Sal sudah datang tadi siang.Tadi, aku ngumpet di rumah

Hana.”

Satu kabar buruk lagi. Aku tidak tahu harus memberi

tanggapan apa atas pernyataan adikku tadi.

“Kak ...,” panggilnya. “Wak Ton sudah memberi gaji kan?

Seharusnya, hari ini tehitung sejak bulan kemarin. Jadi, kita bisa

melunasi utang Aa Sal.”

Adikku memang tidak pernah sekolah. Tidak pernah kenal

berhitung atau membaca. Tapi, siapa sangka, jauh dari itu semua.

Adikku ini memiliki otak setara dengan Ibnu Sina pada

masanya. Ia bisa menghitung tanpa pernah kuajari. Bisa menulis

puisi bagus tanpa pernah kuberi tahu. Apalagi, sekadar

untuk menghitung jatuh tempo, ia adalah yang paling jago.

“Hari ini memang seharusnya hari gajian,” aku membuka

kalimat. “Tapi, coba dengar. Ada beberapa hal yang belum terselesaikan.

Wak Ton belum menggajiku. Urusan Aa Sal bisa belakangan.

Kamu mengerti?”

Itu sudah cukup jelas. Adikku mengerti semuanya. Bahkan,

setiap kata tersirat yang tidak keluar dari mulutku. Ku bilang

tadi. Tapi, ia memilih untuk percaya. Mempercayai dusta yang

ada.

***

Malam ini aku menjadi gelisah. Lebih gundah dari siapa

pun yang sedang mengalami nikmatnya masa asmara. Akutak sedang mengada-ada. Perasaan ini rumit. Sulit. Seolah seperti

ujian tak berkesudahan. Jangankan jalan keluar, untuk

melewati jalan saja tidak bisa. Aku bingung, lantas mengacakacak

rambut kusutku.

Pandanganku teralih padanya. Kuintip mata sayunya

yang tersembunyi dalam remang-remang kamarnya. Ia begitu

dingin, jauh, dan susah kurengkuh. Begitulah adikku. Aku tak

pernah betul-betul mengenalnya. Kami sudah seperti masa yang

jauh di pelupuk mata. Kami berbeda. Mungkin, malam ini akan

menjadi terakhir kali aku bersua dengannya.

“Dik,” bisikku lembut. “Jaga dirimu baik-baik!”

Bersamaan dengan gesekan ranting di atas rumah, aku

menutup mata. Berusaha mencari angin segar sebelum semuanya

dimulai. Baiklah. Hitungan ketiga, aku lebih dari siap.

Melompat dan mengendap. Tinggal sedikit lagi, dan aku bisa

menjadi apa yang kuimpikan semalam. Aku bisa menjadi apa

yang dikatakan oleh Wak Ton tadi siang. Bersenang-senang.

“Selamat malam, Tuan Putri. Apa kau sibuk malam ini?”